Rabu, 26 Januari 2022

APAKAH MIMPIKU TERLALU BESAR?

 

Beberapa bulan sebelum tahun 2021 berakhir, pas banget Aku barusan selesai yudisium, diminta sharing tentang perkuliahan bareng Adek kelas satu almamater sekolah. Ada pertanyaan yang cukup menarik dari salah satu partisipan, yang tiba-tiba aku keinget lagi pertanyaannya kemaren. Kurang lebih Dia bertanya, "Kak, apakah ada mimpi yang terlalu besar? Bagaimana Kita memutuskan mimpi itu terlalu besar atau tidak untuk Kita? Bagaimana kalau kita tetap mengejarnya, apakah nanti akan merepotkan Kita?" Kalimat persisnya Aku ngga begitu inget. Intinya, Aku menangkapnya adalah, bagaimana Kita menyikapi mimpi Kita dan memilah, bagaimana jika mimpi itu terlalu besar dan merepotkan kita? Merepotkan disini maksudnya yang embuat kita susah sendiri. Setelah aku inget-inget jawabanku waktu itu kalau ngga salah Aku menyampaikan bahwa selama kita masih bisa memikirkan apa yang kita inginkan maka itu bisa saja terjadi, tidak ada mimpi yang terlalu besar, selama kita mau belajar, berusaha, dan menemukan jalannya maka apapun bisa dicapai. Jawabanku cukup diplomatis dan jujur Aku sendiri juga kurang puas dengan jawabanku.

Tapi kemaren, iya kemaren banget Aku nonton video Youtube dari mjs channel yang berjudul Ngaji Filsafat 147: Yunani Kuno: Stoikisme. Video berdurasi 2 jam (Pemateri: Dr. Fahruddin Faiz) yang menjelaskan tentang konsep dasar pemikiran stoikisme. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, Aku jelaskan sedikit apa itu Stokisme. Stoikisme berasal dari pemikiran Kaum Stoa pada zaman Yunani kuno (Zeno 350 SM - Marcus Aurelius 250 M). Pemikiran Kaun Stoa terhadap alam semesta berpendapat bahwa dunia ini berdasarkan satu rational principle, yang ada di dunia dan segala peristiwa yang terjadi memiliki pola rasional dan sudah didesain sedemikian rupa dengan memiliki maksud dan tujuan tertentu untuk menjaga harmoni dalam alam semesta. Mengenai manusia, Kaum Stoa berpendapat bahwa manusia merupakan binatang berakal yang merupakan bagian dari alam semesta, dengan akalnya Ia diharapkan dapat menyelenggarakan keteraturan di dunia dan hidup selaras dengan alam semesta. Manusia yang hidup selaras, bertindak secara tepat dalam kebaikan dan hidup dalam harmoni yang prosional dan proporsional dengan akal, alam, dan Tuhan. Dengan menggunakan akal sehatnya, manusia dapat melakukan kebajikan, dan dari kebajikan tersebut lahirlah kebahagiaan. Kejahatan dalam diri manusia lahir dari penolakan terhadap akal sehat dan membiarkan emosi merusak dirinya, diantara emosi tersebut adalah: hasrat (keinginan), takut, senang, dan rasa sakit. Emosi tersebut melhirkan pemikiran yang tidak objektif oleh karena itu harus disingkirkan dan diganti dengan pikiran yang jernih. 

Pemikiran Stokisme terhadap kontrol manusia atas keinginan menjelaskan bahwa secara naluri, manusia akan bahagia jika mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, jika Ia menginginkan sesuatu yang diluar jangkauan atau kontrolnya, jika tidak mendapatkannya maka Ia akan kecewa dan tidak bahagia sedangkan jika mendapatkannya Ia takut kehilangan.

“Whoever, therefore, wants to be free, let him neither wish for everything, nor avoid anything, that is under the control of the others or else, he is necessarily a slave”

-Epictetus-

Dari kalimat tersebut menjelaskan bahwa jika seseorang yang bebas adalah tidak menginginkan segala sesuatu yang berada dibawah kontrol orang lain, karena jika Ia mendapatkannya maka Ia akan dikendalikan oleh orang yang memiliki kontrol terhadap sesuatu yang Ia inginkan tersebut dan tidak lain Ia hanya menjadi budak.

Misal ada seorang karyawan baru di suatu perusahaan, Ia memiliki keinginan menjadi CEO perusahaan tersebut, namun Ia bahkan belum satu tahun bekerja di perusahaan tersebut, maka menjadi seorang CEO sangat jauh diluar kendalinya. Lalu apa yang ada di dalam kendalinya? yaitu bekerja dengan baik sesuai posisi yang ada dan yang sedang dia jalani sekarang. Lalu apakah punya keinginan menjadi CEO itu salah? terlalu besar dan mustahil?

Dalam hidup ini, sangat boleh dan bebas bagi seseorang memiliki keinginan, pikiran, mimpi, dan cita-cita setinggi apapun, semustahil apapun, selama Ia masih bisa memikirkannya, maka bebas, tidak ada yang melarang dan membatasi Ia memiliki mimpi seperti itu? Bukankah manusia bisa pergi ke bulan, juga awalnya dari mimpi? Hal ini disebut “All can be free internally (in mind)”. Namun, apa yang ada dipikiran seseorang, tidak semuanya bisa diekspresikan di kehidupan nyata, dalam kehidupan fisik ada batasan, halangan, dan aturan yang yang harus dijalani dan patuhi sehingga Ia tidak bebas mentranslasikan apa yang kita pikirkan menjadi kenyataan begitu saja. Hal ini disebut “None can be free without (in body)”.

Kembali ke seorang karyawan yang ingin menjadi CEO tadi, Ia bebas bermimpi menjadi CEO di dalam pikirannya, tapi dalam kenyataan Ia tetaplah seorang karyawan yang harus melakukan tugasnya sebagaimana mestinya, maka keinginanya menjadi CEO dibatasi oleh kenyataan. Lalu bagaimana Ia agar menjadi CEO? Apa yang harus Ia lakukan?

“We are actors playing roles we don’t choose, and our duty is to play them as best as we can, knowing that our fate is part of a much larger order”

-Epictetus-

Dalam Stoikisme, ada istilah “Apathe” yang dijelaskan dalam kiasan seorang pemanah. Seorang pemanah yang memanah suatu target, tapi Ia tidak peduli apakah panahnya akan mengenai target atau tidak, yang Ia pedulikan adalah ia sudah melakukan yang terbaik saat memanah. Manusia hidup di dunia ini, masing-masing diberi peran dalam kehidupan, ada yang menjadi pemanah, karyawan, CEO, saat itu Ia tidak bisa memilih perannya, tugasnya hanyalah memainkan peran dengan sebaik mungkin yang Ia bisa lakukan, dan meyakini bahwa Ia adalah bagian kecil dari alam semesta yang besar yang mana bagian yang lain juga menjalankan tugas mereka. Menyadari bahwa tiap orang berperan terhadap dunia ini, apapun perannya, tidak ada yang lebih berharga atau yang tidak berharga. Dalam mesin yang luar biasa besar pun jika Ia kehilangan satu skrup akan mengalami masalah, ya kan? Namun, manusia bukan mesin, Ia berubah dan dinamis, perannya dalam hidup bisa berubah sesuai berapa besar usaha yang Ia lakukan. Seperti aktor atau aktris dalam opera, awal-awal bergabung, pasti Ia mendapat peran kecil, jika kemudian terbukti dapat berperan dengan baik, maka Ia akan mendapat peran yang lebih besar. Begitu juga dengan karyawan tersebut, perannya saat itu adalah menjadi karawan baru, jika Ia dapat bekerja dengan baik, bukan tidak mungkin perannya akan berganti dan mendapat peran yang lebih besar sedikit demi sedikit sampai menjadi CEO seperti yang Ia inginkan.

“Jangan berusaha agar segalanya terjadi seperti yang engkau inginkan, namun inginkanlah agar segalanya terjadi seperti yang seharusnya terjadi, maka hidupmu akan tenang”

-Marcus Aurelius-

Jadi APAKAH MIMPIKU TERLALU BESAR? Semoga penajabaran di atas bisa menjawab pertanyaanku, adek yang tanya waktu itu, dan teman-teman yang juga mungkin betanya dalam hatinya. Terima kasih sudah membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

APAKAH MIMPIKU TERLALU BESAR?

  Beberapa bulan sebelum tahun 2021 berakhir, pas banget Aku barusan selesai yudisium, diminta sharing tentang perkuliahan bareng Adek kela...