Beberapa bulan sebelum tahun 2021 berakhir, pas banget Aku barusan
selesai yudisium, diminta sharing tentang perkuliahan bareng Adek kelas
satu almamater sekolah. Ada pertanyaan yang cukup menarik dari salah satu
partisipan, yang tiba-tiba aku keinget lagi pertanyaannya kemaren. Kurang lebih
Dia bertanya, "Kak, apakah ada mimpi yang terlalu besar? Bagaimana Kita
memutuskan mimpi itu terlalu besar atau tidak untuk Kita? Bagaimana kalau kita
tetap mengejarnya, apakah nanti akan merepotkan Kita?" Kalimat persisnya Aku
ngga begitu inget. Intinya, Aku menangkapnya adalah, bagaimana Kita menyikapi
mimpi Kita dan memilah, bagaimana jika mimpi itu terlalu besar dan merepotkan
kita? Merepotkan disini maksudnya yang embuat kita susah sendiri. Setelah aku
inget-inget jawabanku waktu itu kalau ngga salah Aku menyampaikan bahwa selama
kita masih bisa memikirkan apa yang kita inginkan maka itu bisa saja terjadi,
tidak ada mimpi yang terlalu besar, selama kita mau belajar, berusaha, dan
menemukan jalannya maka apapun bisa dicapai. Jawabanku cukup diplomatis dan
jujur Aku sendiri juga kurang puas dengan jawabanku.
Tapi kemaren, iya kemaren banget Aku nonton video Youtube dari mjs
channel yang berjudul Ngaji Filsafat 147: Yunani Kuno: Stoikisme. Video
berdurasi 2 jam (Pemateri: Dr. Fahruddin Faiz) yang menjelaskan tentang konsep
dasar pemikiran stoikisme. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, Aku jelaskan
sedikit apa itu Stokisme. Stoikisme berasal dari pemikiran Kaum Stoa pada zaman
Yunani kuno (Zeno 350 SM - Marcus Aurelius 250 M). Pemikiran Kaun Stoa
terhadap alam semesta berpendapat bahwa dunia ini berdasarkan satu rational
principle, yang ada di dunia dan segala peristiwa yang terjadi memiliki
pola rasional dan sudah didesain sedemikian rupa dengan memiliki maksud dan
tujuan tertentu untuk menjaga harmoni dalam alam semesta. Mengenai manusia,
Kaum Stoa berpendapat bahwa manusia merupakan binatang berakal yang merupakan
bagian dari alam semesta, dengan akalnya Ia diharapkan dapat menyelenggarakan
keteraturan di dunia dan hidup selaras dengan alam semesta. Manusia yang hidup
selaras, bertindak secara tepat dalam kebaikan dan hidup dalam harmoni yang
prosional dan proporsional dengan akal, alam, dan Tuhan. Dengan menggunakan
akal sehatnya, manusia dapat melakukan kebajikan, dan dari kebajikan tersebut
lahirlah kebahagiaan. Kejahatan dalam diri manusia lahir dari penolakan
terhadap akal sehat dan membiarkan emosi merusak dirinya, diantara emosi
tersebut adalah: hasrat (keinginan), takut, senang, dan rasa sakit. Emosi
tersebut melhirkan pemikiran yang tidak objektif oleh karena itu harus
disingkirkan dan diganti dengan pikiran yang jernih.
Pemikiran Stokisme terhadap kontrol manusia atas keinginan
menjelaskan bahwa secara naluri, manusia akan bahagia jika mendapatkan apa yang
diinginkannya. Namun, jika Ia menginginkan sesuatu yang diluar jangkauan atau
kontrolnya, jika tidak mendapatkannya maka Ia akan kecewa dan tidak bahagia sedangkan
jika mendapatkannya Ia takut kehilangan.
“Whoever, therefore, wants to be
free, let him neither wish for everything, nor avoid anything, that is under
the control of the others or else, he is necessarily a slave”
-Epictetus-
Dari kalimat tersebut menjelaskan bahwa jika seseorang yang bebas
adalah tidak menginginkan segala sesuatu yang berada dibawah kontrol orang
lain, karena jika Ia mendapatkannya maka Ia akan dikendalikan oleh orang yang
memiliki kontrol terhadap sesuatu yang Ia inginkan tersebut dan tidak lain Ia
hanya menjadi budak.
Misal ada seorang karyawan baru di suatu perusahaan, Ia memiliki
keinginan menjadi CEO perusahaan tersebut, namun Ia bahkan belum satu tahun
bekerja di perusahaan tersebut, maka menjadi seorang CEO sangat jauh diluar
kendalinya. Lalu apa yang ada di dalam kendalinya? yaitu bekerja dengan baik sesuai
posisi yang ada dan yang sedang dia jalani sekarang. Lalu apakah punya
keinginan menjadi CEO itu salah? terlalu besar dan mustahil?
Dalam hidup ini, sangat boleh dan bebas bagi seseorang memiliki
keinginan, pikiran, mimpi, dan cita-cita setinggi apapun, semustahil apapun,
selama Ia masih bisa memikirkannya, maka bebas, tidak ada yang melarang dan
membatasi Ia memiliki mimpi seperti itu? Bukankah manusia bisa pergi ke bulan,
juga awalnya dari mimpi? Hal ini disebut “All can be free internally (in
mind)”. Namun, apa yang ada dipikiran seseorang, tidak semuanya bisa
diekspresikan di kehidupan nyata, dalam kehidupan fisik ada batasan, halangan,
dan aturan yang yang harus dijalani dan patuhi sehingga Ia tidak bebas
mentranslasikan apa yang kita pikirkan menjadi kenyataan begitu saja. Hal ini
disebut “None can be free without (in body)”.
Kembali ke seorang karyawan yang ingin menjadi CEO tadi, Ia bebas
bermimpi menjadi CEO di dalam pikirannya, tapi dalam kenyataan Ia tetaplah
seorang karyawan yang harus melakukan tugasnya sebagaimana mestinya, maka keinginanya
menjadi CEO dibatasi oleh kenyataan. Lalu bagaimana Ia agar menjadi CEO? Apa
yang harus Ia lakukan?
“We are actors playing roles we don’t choose, and our duty is to
play them as best as we can, knowing that our fate is part of a much larger
order”
-Epictetus-
Dalam Stoikisme, ada istilah “Apathe” yang dijelaskan dalam
kiasan seorang pemanah. Seorang pemanah yang memanah suatu target, tapi Ia
tidak peduli apakah panahnya akan mengenai target atau tidak, yang Ia pedulikan
adalah ia sudah melakukan yang terbaik saat memanah. Manusia hidup di dunia
ini, masing-masing diberi peran dalam kehidupan, ada yang menjadi pemanah,
karyawan, CEO, saat itu Ia tidak bisa memilih perannya, tugasnya hanyalah
memainkan peran dengan sebaik mungkin yang Ia bisa lakukan, dan meyakini bahwa
Ia adalah bagian kecil dari alam semesta yang besar yang mana bagian yang lain juga
menjalankan tugas mereka. Menyadari bahwa tiap orang berperan terhadap dunia
ini, apapun perannya, tidak ada yang lebih berharga atau yang tidak berharga.
Dalam mesin yang luar biasa besar pun jika Ia kehilangan satu skrup akan
mengalami masalah, ya kan? Namun, manusia bukan mesin, Ia berubah dan dinamis,
perannya dalam hidup bisa berubah sesuai berapa besar usaha yang Ia lakukan. Seperti
aktor atau aktris dalam opera, awal-awal bergabung, pasti Ia mendapat peran
kecil, jika kemudian terbukti dapat berperan dengan baik, maka Ia akan mendapat
peran yang lebih besar. Begitu juga dengan karyawan tersebut, perannya saat itu
adalah menjadi karawan baru, jika Ia dapat bekerja dengan baik, bukan tidak
mungkin perannya akan berganti dan mendapat peran yang lebih besar sedikit demi
sedikit sampai menjadi CEO seperti yang Ia inginkan.
“Jangan berusaha agar segalanya terjadi seperti yang engkau
inginkan, namun inginkanlah agar segalanya terjadi seperti yang seharusnya
terjadi, maka hidupmu akan tenang”
-Marcus Aurelius-
Jadi APAKAH MIMPIKU TERLALU BESAR? Semoga penajabaran di atas bisa
menjawab pertanyaanku, adek yang tanya waktu itu, dan teman-teman yang juga
mungkin betanya dalam hatinya. Terima kasih sudah membaca.